Kesengsem pada Brambang Asem
Oleh Nur Khayati
Dini hari, aku terbangun oleh suara gaduh dari gawai yang letaknya tak jauh dari tempat tidur. Sebetulnya jam dan nada alarm sudah ku atur sendiri. Tetapi tetap saja suaranya masih asing tertangkap oleh daun telinga. Mau tak mau aku pun terjaga.
Sebelum beranjak dari kasur, aku memerhatikan ada kerlipan cahaya yang muncul dari gawai. Nampaknya ada sebuah pesan pribadi yang baru saja masuk disana.
[Say, InsyaAllah jumat malam abi pulang. Minta tolong masakin brambang asem yah? 😊 ]
[Oke..siap Insyaallah]
Pesan whatsapp dari suami, ku jawab singkat dan menyanggupi permintaannya tanpa basa basi. Ah, iyah..brambang asem ini sesaat memutar kembali memoriku pada masa awal pernikahan. Kala itu, aku baru mengenal masakan rumah bernama brambang asem.
Bermula saat aku dan suami membantu bapak memanen ubi jalar. Kami terlibat percakapan yang masih melekat dalam ingatanku.
"Pak, niki nopo mung dipanen telone mawon,"tanya suamiku.
(Pak, apa ini cuma dipanen ubinya saja?)
"Lah..iyo toh Mas. Sing payu kan mung telone. Mengko glandire dinggo pakan sapi,"jawab bapak saya.
(Lah, iya to Mas. Kan yang laku dijual cuma ubinya. Nanti daun glandirnya dibuat makan sapi)
"Walah, nek ten nggene kulo niki glandire saged dimasak Pak".
(Walah, ini kalau di tempat saya bisa dimasak Pak)
"Mosok toh Mas?dimasak opo?Jajalen nggawa bali trus masakno"
(Masa iyah Mas?dimasak apa?Coba ambil bawa pulang dimasak)
"Namine brambang asem Pak. Nggih, mangke kulo beto sekedik. Kajenge kulo masake".
(Namanya brambang asem Pak. Iya, nanti saya bawa pulang sedikit untuk dimasak)
Tak lama kami sudah sampai dirumah dengan membawa berikat-ikat glandir. Suamiku nampak sibuk di dapur. Aku mencoba menawarkan bantuan tetapi beliau menyanggupi untuk memasaknya sendiri.
30 menit kemudian…
Sepiring penuh brambang asem sudah berada diatas meja makan dan siap kami santap.
Brambang asem ini merupakan salah satu kudapan yang baru aku tahu setelah menikah. Menurut cerita suamiku, brambang asem dulu sering menjadi bekal para petani saat ke sawah. Bahkan brambang asem dikenal sebagai makanan khas masyarakat yang tinggal di desa kecil wilayah kota Solo. Suamiku yang tinggal tak jauh dari kota Solo tentu sudah sangat familiar dengan kudapan ini. Sedangkan aku yang tinggal di wilayah pesisir pantai tentu masih sangat asing bahkan ini kali pertama aku merasainya.
Brambang asem ini menggunakan glandir atau daun ubi jalar sebagai bahan utamanya. Setelah glandir direbus lalu dicampurkan dengan sambal khas. Sambal khas yang dibuat dari campuran bawang merah bakar, terasi bakar, cabai, gula, garam dan asam jawa. Untuk penyajiannya, brambang asem ini biasa disandingkan dengan kerupuk dan tahu/tempe goreng. Nampak sederhana bukan?
Meskipun terlihat sederhana, tetapi jangan ditanya soal rasa. Bahkan saat baru melihat tampilannya saja, kita sudah menelan air ludah untuk segera menyantap. Perpaduan rasa pedas, asin dan asem dari sambalnya sungguh sangat menggugah selera dan lidah kita pun dimanjakan olehnya. Sejurus kemudian tanpa disadari jika sepiring penuh brambang asem sudah menjejal ke dalam lambung kita.
Ah, ternyata brambang asem ini membuatku menjadi kesengsem. Bukan hanya kesengsem pada rasa yang ditawarkan oleh si brambang asem tetapi juga si pembuatnya. ðŸ¤
Kini, setelah lebih dari 5 tahun usia pernikahan kami. Aku dapat menyajikan sendiri brambang asem sebagai obat rindu suamiku akan masakan rumah buatan ibu mertua. Saat kami tak bisa menginjakkan kaki untuk pulang, maka brambang asem ini sudah cukup sebagai gantinya untuk sementara.
Hmmm..lalu apakah teman-teman juga ikut tertarik untuk menyajikan kudapan ini ditengah keluarga?Akankah teman-teman juga ikut kesengsem pada si brambang asem?
Selamat mencoba yah teman-teman 🤩🤗
#masakanrumah
#TTMKLIP
#KelasLiterasiIbuProfesional
#KLIP2023
#TemaTantanganMenulis2023
catatan :
Kesengsem = jatuh hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar